"Donasi Infaq dan Amal Jariyah Pembangunan Gedung NU Bumiayu Melalui Bank BSI No Rek 7333744419 dan Bank BRI No Rek 0190-01-000-76556-2 " Mari berlomba-lomba membangun gedung masa depan akhirat"

Biografi KH. Abdul Wahab Chasbullah

 

KELAHIRAN

KH. Abdul Wahab Chasbullah atau yang biasa dipanggil dengan Mbah Wahab lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Beliau merupakan putra pasangan KH. Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, dengan Nyai Latifah.

KH. Wahab  Chasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah KH. Hasyim Asy’ari pada Kiai Abdus Salam (Kiai Shoichah) bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sumbu bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir (Mas Karebet), bin Lembu Peteng, bin Brawijaya V (raja Majapahit ketujuh).

WAFAT

KH. Wahab wafat di Jombang pada usia 83 tahun atau tepatnya pada 29 Desember 1971. 43 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7 November 2014, Kiai Wahab bersama dengan Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, dan HR Muhammad Mangundiprojo diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.

KELUARGA

Pada tahun 1914, Kiai Wahab melepas masa lajangnya dengan menikahi seorang putri dari Kiai Musa yang bernama Maimunah. Setelah menikah dengan Maimunah, Kiai Wahab memutuskan untuk tinggal bersama mertua di Kampong Kertopaten Surabaya.

Pada tahun 1916, buah dari perkawinannya lahir seorang anak laki-laki bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921.

Setelah itu Kiai Wahab menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama, sebab setelah lahir putranya, istri Kiai Wahab meninggal lagi.

Begitu juga untuk ketiga kalinya Kiai Wahab menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.

Dari sini beliau kemudian menikah lagi, pada pernikahan keempat, Kiai Wabah menikahi putri dari Kiai Sa’id yang bernama Asnah, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.

Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.

Penikahan keenam kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.

PENDIDIKAN

Masa pendidikan KH. Abdul Wahab Chasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar.

Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan salawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.

Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup, seorang santri, seperti, salat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk salat tahajjud. Kemudian Kiai Wahab membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Kemudian beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Kiai Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.

Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:

  1. Pesantren Langitan Tuban
  2. Pesantren Mojosari, Nganjuk
  3. Pesantren Cempaka
  4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang
  5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan KH. Kholil Bangkalan
  6. Pesantren Branggahan, Kediri
  7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari

Khusus di Pesantren TebuiIreng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi lurah pondok, sebuah jabatan tertinggi yang jarang didapatkan oleh seorang santri dalam sebuah pesantren. Menjadi lurah pondok adalah sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren kepada santri.

MENDIRIKAN BEBERAPA SEKOLAHAN

KH. Wahab berpandangan bahwa pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren tapi bagaimana agar mendidik anak bisa dilakukan dimanapun dan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan.

Oleh karenanya selain melakukan pendidikan diPesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang,  juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar.

Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:

  1. Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
  2. Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
  3. Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
  4. Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).

PERGERAKAN KH. WAHAB

Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Chasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Chasbullah?

Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan.

Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.

PEMIKIRAN YANG DEMOKRATIS

Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:

“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking.

Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).

Bagi Wahab Chasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

PEMIKIRAN KH. WAHAB

Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Chasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi.

Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Chasbullah juga begitu kontraversial?.

Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.

PELOPOR PENDIRI NAHDATUL ULAMA

KH. Wahab Chasbullah merupakan bapak Pendiri NU. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro.

Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Chasbullah juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.

PELOPOR KEBEBASAN BERPIKIR

KH. Wahab Chasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. Kiai Wahab Chasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia.

Beliau merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu Kiai Abdul Wahab Chasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai Wahab Chasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kiai Abdul Wahab Chasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya.

Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kiai Abdul Halim, (Lewimunding Cirebon), Kiai Alwi Abdul AzizKiai Ma’shum (Lasem) dan Kiai Kholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab Chasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia.

Kiai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.

Pernah suatu ketika Kiai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang kurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kiai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kiai Bisri.

Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kiai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kiai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru Kiai Wahab.

Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kiai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.

PENCIPTA LAGU YA LAL WATHON

KH. Wahab Chasbullah adalah pengarang syair "Ya Lal Wathon" yang banyak dinyanyikan dikalangan Nahdliyyin, lagu Ya Lal Wathon di karangnya pada tahun 1934. KH. Maimun Zubair mengatakan bahwa syair tersebut adalah syair yang beliau dengar, peroleh, dan di nyanyikan saat masa mudanya di Rembang. Dahulu syair Ya Lal Wathon ini dilantangkan setiap hendak memulai kegiatan belajar oleh para santri.

INSPIRATOR TERBENTUKNYA GP ANSOR

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Chasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung Kiai Wahab Chasbullah yang kemudian menjadi pendiri NU membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Wahab  Chasbullah ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah.

Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut.

Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz SiddiqKH. Wahid HasyimKH. Dachlan Kertosono, Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid serta dukungan dari ulama senior KH. Wahab Chasbullah.

Sementara itu, peran KH. Mohammad Chusaini Tiway terlihat pada masa pendudukan Jepang, dimana pada saat itu organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO.

Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wahid Hasyim Menteri Agama RIS kala itu, maka pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).

PENDIRI MEDIA NU

adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.

(Disalin dari https://www.laduni.id/post/read/58801/biografi-kh-wahab-chasbullah)

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Pendiri NU

Pembangunan Gedung NU

SIPNU

GALERRY FOTO

LINK KARTANU

GEDUNG MWC NU

Arsip Blog

Recent Posts

Pengunjung

Flag Counter