"Donasi Infaq dan Amal Jariyah Pembangunan Gedung NU Bumiayu Melalui Bank BSI No Rek 7333744419 dan Bank BRI No Rek 0190-01-000-76556-2 " Mari berlomba-lomba membangun gedung masa depan akhirat"

Waspadai Cara Wahabi Menarik Pengikut

Kaum Salafi Wahabi memiliki banyak cara untuk mempengaruhi masyarakat agar menjadi pengikutnya. Bukan hanya menggunakan dana, kaum Salafi Wahabi juga menggunakan pendekatan simpatik supaya masyarakat bisa percaya pada paham mereka.

Cara Wahabi mempengaruhi orang bahkan bisa dengan cara sekenanya. Jika bisa dipengaruhi menggunakan fikih maka fikih yang dipakai. Jika bisa dipengaruhi menggunakan aqidah maka akidah yang dipakai.

Hal ini diungkapkan oleh Aryo Muthofa, salah seorang pengikut Wahabi yang kemudian menceritakan bagaimana cara kaum Salafi Wahabi bisa menarik pengikutnya. Bahkan, menurut Aryo, mereka tidak jarang juga memanfaatkan anggota rakyat.

"Kalau ada orang yang sakit mereka wajib nengok pertama kali. Pertama mungkin dia sendiri, medoakan. Setelah itu sama istrinya, bawa sarung atau bawa gula. Targetnya pertama mereka dianggap baik. Bahkan kalau sampai ke rumah sakit, mereka akan berani nyetop angkot. Masalah uang belakangan, tidak urusan, mereka bisa nelpon kelompoknya yang jadi DPR atau apa," terang Aryo.

Seperti dilansir dari laman dutaislam.com, Aryo mengatakan bahwa Wahabi akan selalu mencari majlis taklim atau acara-acara yang mereka anggap bid’ah dan  sesat. Termasuk acara-acara maulid. Tujuan mereka mencari kelemahan. Dan kelemahan itu dijadikan untuk menyerang.

"Kalau ada acara-acara maulid mereka juga hadir. Mereka mencari kelemahan. Digoreng sama mereka," katanya.

Orang Wahabi yang menjadi pembicara publik, tambah Aryo, biasanya sangat menerima kritik. Bahkan dia minta dikritik mengenai apa yang telah disampaikan. Dan orang yang mengkritik biasanya akan diberi hadiah. Ini berbeda dengan selain Wahabi. Termasuk pembicara publik (penceramah) dari nahdlyin misalnya. 

"Karena mereka punya maksud untuk kaderisasi. Mereka memiliki dakwah, istilahnya dakwah dengan hati. Intinya, mereka dakwahnya kebanyakan bil hal, menggunakan metode, nggak usah banyak bicara. Setiap kadernya dimuhasabah (dikontrol). Sudah tidak berjamaah berapa kali, sudah silaturrahim ke berapa orang," jelas Aryo.

Kader wahabi secara internal, cerita Aryo, memiliki bertingkat-tingkat dan berkelas-kelas. Semua tingkatan dikader dan ada panduannya khusus. Semuanya terkontrol. Maka jangan heran bila ada orang wahabi yang hanya baru sedikit tahu dalil namun mereka sudah berani berdakwah dengan dalil tersebut.

”Bagi kader internal, mereka ada metode tarbiyah. Kita akan ketawa (melihat), cuma bisa gini (sedikit dalil) mereka berani ngisi kajian. Mereka sudah dilatih. Kalau saya persentasi aqidahnya mereka paham. Karena sejak masuk sudah dikasih itu. Mereka tidak peduli dengan syariat dulu,” jelas Aryo.

Lebih jauh, Aryo menjelaskan bahwa tujuan kelompok Wahabi adalah serupa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yakni khilafah ala minhajinnubuwwah, mengembalikan kekhalifahan sebagaimana "manhaj" Nabi Muhammad versi mereka. "Indonesia bagi mereka thagut," pungkas Aryo.

 (Sumber : https://www.laduni.id/post/read/63070/waspadai-cara-wahabi-menarik-pengikut)
Share:

Aplikasi pencari ayat Al Qur'an

Untuk mencari ayat Al qur'an dengan mudah. silahkan isi lafadnya. semakin banyak lafad yang dimasukkan semakin spesifik ayat yang ditemukan. 

ini dia link nya : http://lafzi.apps.cs.ipb.ac.id/web/

Monggo...

Kalo mau di pasang di HP Android. ini dia link nya : https://play.google.com/store/apps/details?id=org.lafzi.lafzi&hl=in&gl=US

Bangga telah berbagi.

Share:

HIKMAH

 Hikmah 1 : Nasihat Ibu Sufyan ats-Tsauri kepada Anaknya tentang Menuntut Ilmu.

 Hikmah 2 : Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya Seorang Khawarij

 Hikmah 3 : Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memuliakan Tamunya

 Hikmah 4 : Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing


Share:

Kelakar Kapolri Listyo Sigit jika Ada Polisi yang Tak Sowan ke NU


Jakarta, NU Online 

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan dengan sedikit berkelakar bahwa jika ada polisi di daerah yang enggan bertemu dengan warga NU (Nahdliyin), maka itu sama saja tidak menghormati dirinya.  "Karena saya saja sowan ke PBNU,” ucap Jenderal Listyo Sigit, saat sowan kepada KH Said Aqil Siroj di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Kamis (28/1) sore. 

Kapolri ke-25 yang baru dilantik Presiden Joko Widodo, pada Rabu (27/1) kemarin itu mempersilakan warga NU di daerah untuk berkoordinasi dengan Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek di setiap wilayah untuk bekerja sama saling menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).  “Karena saya yakin banyak program yang bisa dikerjasamakan untuk upaya pemeliharan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Nanti kalau ada yang tidak mau menemui tinggal laporkan saja ke Kadiv Propam (Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan) Mabes Polri,” ungkap Sigit.
“Kadiv Propam itu polisinya polisi. Jadi kalau masyarakat takutnya sama Reserse, kalau polisi takutnya sama Kadiv Propam (Brigjen Fredy Sambo),” jelas Sigit dengan nada guyon, saat Kiai Said bertanya soal kepanjangan dan tugas Kadiv Propam. Listyo Sigit Prabowo memang dikenal dekat dengan kiai sepuh dan ulama. Ia juga kerap bersilaturahim dengan Nahdliyin maupun pengurus NU.   Seperti ketika usai dilantik sebagai Kapolda Banten pada 2016, ia sowan ke PWNU Banten. Bahkan meskipun menjadi Kapolda, Listyo Sigit tak segan untuk menghadiri pelantikan pengurus NU di tingkat cabang atau PCNU. Misal ketika menghadiri pelantikan pengurus PCNU Serang, Banten.  Lebih lanjut Jenderal Listyo Sigit mengatakan, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diperlukan adanya sinergi antara umara (pemerintah), ulama, dan tokoh masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan dan menjaga stabilitas kamtibmas. 

“Sebab faktor kunci utama supaya pertumbuhan ekonomi bisa berjalan jika kamtibmas bisa terjaga dan itu hanya bisa dilakukan dengan bersinergi,” bebernya.

Sigit pun berharap, anggota-anggota kepolisian di seluruh Indonesia diisi oleh orang-orang yang ahli dan paham ilmu agama. Ia akan menyambut dengan gembira jika anggotanya terpilih dari lulusan madrasah dan pesantren. Terlebih, lanjutnya, apabila di daerah-daerah yang terpilih sebagai anggota polisi adalah putra dari tokoh kiai dan ulama setempat. “Sehingga pada saat direkrut dan kelak menjadi polisi yang mengabdi, tentu pasti akan disegani,” katanya. 

Anggota polisi yang seperti itu diyakini bisa menjadi polisi yang dihormati dan disayangi masyarakat. Sebab mampu menguasai agama, sehingga ketika bicara maka masyarakat akan dengan sendirinya memahami tanpa polisi harus menggunakan pistol. “Ke depan seperti itu. Kita ingin polisi bisa tegas tapi humanis, tanpa menggunakan kekuatan yang kita miliki, sehingga masyarakat bisa memahami pada saat kita memberi pemahaman,” katanya.   “Sekali lagi, terima kasih atas waktu dan tempat. Kami mohon izin untuk selanjutnya melanjutkan kerja sama yang sudah ada. Bahkan semakin kuat dan erat, sehingga Polri dan NU bisa sama-sama menjaga negara kesepakatan ini,” imbuh Sigit. 

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyambut baik rencana ke depan Kapolri yang akan merekrut anggota kepolisian dari lulusan madrasah, pesantren, dan menguasai ilmu agama dengan kemampuan membaca kitab kuning. 

Menurut Kiai Said, ajakan Kapolri tentang kewajiban anggota polisi untuk baca kitab kuning itu adalah sebuah upaya untuk mempertahankan budaya. Sebab Indonesia adalah negara yang memiliki peradaban, khazanah, kebudayaan, dan kekayaan yang luar biasa.  “Termasuk soal kitab kuning itu yang secara turun-temurun dan dilestarikan oleh para walisongo dan para ulama. Maka budaya harus kita jadikan sebagai infrastruktur agama. Di atas infrastruktur budaya itu ada agama,” tegas Kiai Said. 

“Dengan begitu, agamanya kuat dan budayanya akan menjadi langgeng,” pungkasnya. Sebagai informasi, acara ini dilangsungkan dengan peserta terbatas dan dilakukan secara daring dengan diikuti Pengurus Wilayah NU dan kepolisian daerah se-Indonesia. Selain itu, silaturahim PBNU dan Polri ini juga disiarkan langsung melalui kanal Youtube 164 Channel. 

Dalam pertemuan ini, hadir beberapa pengurus harian PBNU. Di antaranya adalah Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini, Ketua PBNU KH Robikin Emhas, KH Marsudi Syuhud, KH Abdul Manan Abdul Ghani, dan KH Aizzuddin Abdurrahman. Selain itu hadir pula Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU H Andi Najmi Fuaidi, Bendahara Umum PBNU Bina Suhendra, Bendahara PBNU Harvick Hasnul Qolbi, Ketua Baznas RI H Nur Ahmad, dan jajaran kepolisian yang membersamai Kapolri Sigit. 

Pewarta: Aru Lego Triono Editor: Fathoni Ahmad

Share:

Bahtsul Masail 1 : Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan 

( Alhafiz Kurniawan ) Selasa 17 November 2020 09:00 WIB 

Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an di kuburan dengan khatam sekalipun tidak dimakruh sejauh dibaca perlahan atau sir. 

Assalamu'alikum wr. wb. Redaksi NU Online, kelaziman masyarakat adalah membaca dan sebagian orang mengkhatamkan Al-Qur’an di kuburan, lalu mendoakan ahli kubur. Apakah hukum dasar membaca Al-Qur'an di kuburan? Atas jawabannya saya haturkan banyak terima kasih. (Abdullah/Cikampek). 

Jawaban  : Wassalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an merupakan aktivitas yang mulia. Aktivitas ini bernilai sebagai ibadah yang utama. Adapun terkait qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an di kuburan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat, hukum pembacaan Al-Qur’an di kuburan tidak dimakruh. Mereka bahkan menganjurkan aktivitas ini. Tetapi sebagian berpendapat, hukum pembacaan Al-Qur’an di kuburan adalah makruh. 

وسئل القاضي أبو الطيب عن قراءة القرآن في المقابر فقال الثواب للقارىء ويكون الميت كالحاضر ترجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعنى وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب إلى الاجابة والدعاء ينفع الميت 

Artinya, “Ketika ditanya perihal membaca Al-Qur’an di kuburan, Qadhi Abut Thayyib menjawab, ‘Pahala membaca itu kembali kepada orang yang membaca. Sedangkan mayit seperti orang hidup yang diharapkan rahmat dan keberkahan Allah untuknya. Pembacaan Al-Qur’an dianjurkan dalam rangka ini. Sedangkan doa setelah pembacaan Al-Qur’an lebih dekat pada ijabah. Doa orang hidup itu akan bermanfaat bagi si mayit,’” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 657). 

 ذَهَبَ جُمْهُورُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لاَ تُكْرَهُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي الْمَقَابِرِ بَل تُسْتَحَبُّ 

Artinya, “Mayoritas ulama mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa, qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an di kuburan tidak dimakruh, tetapi justru dianjurkan,” (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama: 2002 M/1423 H], juz 39, halaman 347). 

Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an di kuburan dengan khatam sekalipun tidak dimakruh sejauh dibaca perlahan atau sir. Kemakruhan itu muncul karena Al-Qur’an dibaca jahar atau keras. (Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 2002 M/1423 H: 39/347-348). 

Adapun mayoritas ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa hukum qira’atul qur’an atau pembacaan Al-Qur’an di kuburan adalah makruh secara mutlak, baik dibaca sirr maupun jahar. (Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 2002 M/1423 H: 39/348). 

Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa ulama berbeda pendapat perihal masalah ini. Sebagian besar menganjurkan pembacaan Al-Qur’an di kuburan sebagai dorongan doa. Tetapi tidak ada satupun ulama yang mengharamkan pembacaan Al-Qur’an di kuburan.

Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, 

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/124675/hukum-membaca-al-qur-an-di-kuburan
Share:

Hikmah 4 : Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing

Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing 

( Oleh : Muhammad Afiq Zahara ) Senin 2 November 2020

 

Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, apalagi kepada binatang. 

Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dengan seekor anjing yang melintasinya. 

Berikut riwayatnya:

   وقال محمد بن إسحاق: حدثني بعض أصحابنا قال: كنا مع عمر بن عبد العزيز في طريق مكة فجاء كلب فانتزع عمر كتف شاة فرمى بها إليه، وقال : يقولون: إنه المحروم 

Muhammad bin Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: “Kami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang, maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing(nya), lalu memberikannya kepada anjing tersebut.” Dikatakan: “Orang-orang yang bersamanya mengatakan: “Sesungguhnya anjing itu mahrûm” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 7, h. 419).

Sebelum mengurai kisah tersebut lebih dalam, kita harus memahami terlebih dahulu arti kata “mahrûm”. Kata ini terdapat dalam QS al-Dzariyat ayat 19:

   وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ  

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”   

Dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Indonesia, kata “mahrûm” diartikan “orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Meski sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada banyak penafsiran dan pemaknaan dari kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama. Sayyidina Ibnu Abbas dan Imam Mujahid memaknainya dengan “al-muhârif”, yang berarti:

لا سهم له في بيت المال، ولا كسب له، ولا حرفة يتقوت منها   

“Tidak (memiliki) bagian di Baitul Mal, tidak (punya) mata pencaharian, dan tidak (memiliki) pekerjaan yang (dapat memenuhi kebutuhan) makan(nya)” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 7, h. 418).

   Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anhuma mengartikan “al-muhârif” sebagai “orang yang kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan.” Imam Abu Qilabah mengatakan, bahwa di Yamamah pernah terjadi banjir yang menghilangkan harta seseorang, dan seorang sahabat berkata, “hadzâ al-mahrûm” (orang tersebut adalah mahrûm). Bahkan, Imam al-Sya’bi merasa kesulitan untuk mengetahui maksud dari kata “mahrûm”. Ia mengatakan: 

أعياني أن أعلم ما المحروم   

“Telah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-mahrûm” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 7, h. 419).   


Kisah di atas menampilkan sebuah contoh pengamalan sebuah ayat Al-Qur’an. Perintah baik Al-Qur’an dibuktikan dengan perilaku, tidak hanya dipahami dalam nalar. Sebagaimana umumnya manusia, kita dapat memahami kebaikan dengan mengatakan di pikiran kita, “ini baik”, “itu baik”, “hal ini baik” atau “hal itu baik”, tapi pemahaman kita tidak pernah mewujud dalam perbuatan, hanya sebatas pemahaman yang perlahan-lahan terlupakan dengan gerak waktu.   Apalagi, jika kebaikan itu harus dipahami, dimaknai, dan dimengerti terlebih dahulu, seperti kisah di atas. 

Untuk memahami bahwa anjing atau binatang termasuk dalam kategori al-mahrûm dibutuhkan pengetahuan. Pengetahuan yang dibersamai dengan keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pengamalannya tidak butuh panjang pikir atau kalkulasi eman-emanan (sayang jika diberikan pada binatang).   Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa.  Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian. Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andaipun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.   Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata “tumbuh”. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran. Pengetahuan kita tentang kebaikan “memberi” dan “berderma” tidak berarti apa-apa, sekedar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita, dan kita, seakan-akan, tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.   

Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah al-mahrûm.   Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-mahrûm, apalagi manusia. Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?   

Wallahu a’lam bish-shawwab...   

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/124321/sayyidina-umar-bin-abdul-aziz-dan-seekor-anjing
Share:

Hikmah 3 : Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memuliakan Tamunya

Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memuliakan Tamunya 

( Oleh : Muhammad Afiq Zahara )  Ahad 17 Januari 2021 

Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menerapkan konsep “ikrâm” (memuliakan) dengan cara luar biasa. Padahal, ia adalah pemimpin umat Islam saat itu.

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani mencatat sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan penasihatnya. Berikut riwayatnya: 

حدثنا أبو حامد بن جبلة، ثنا محمد بن إسحاق، ثنا أحمد بن الوليد، ثنا محمد بن كثير، ثنا أبي كثير بن مروان، عن رجاء بن حيوة، قال: سمرت ليلة عند عمر بن عبد العزيز فاعتل السراج، فذهبت أقوم أصلحه، فأمرني عمر بالجلوس، ثم قام فأصلحه، ثم عاد فجلس فقال: قمت وأنا عمر بن عبد العزيز، وجلست وأنا عمر بن عبد العزيز، ولؤم بالرجل إن استخدم ضيفه. 

Abu Hamid bin Jabbalah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq bercerita, Ahmad bin al-Walid bercerita, Muhammad bin Katsir bercerita, Abu Katsir bin Marwan bercerita, dari Raja’ bin Haiwah, ia berkata: “Aku berbincang dengan Umar bin Abdul Aziz di malam hari, dan lampu (di ruangan hampir) terjatuh. Aku bergegas hendak berdiri untuk memperbaikinya, (dan) Umar menyuruhku untuk tetap duduk. Ia berdiri dan memperbaiki lampu tersebut, kemudian kembali duduk, sembari berkata: “Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya)” (Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Fikr, 2019, juz 5, h. 264). 

Memuliakan tamu merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan dalam hadits yang melandasi pentingnya memuliakan tamu diawali dengan kalimat, “barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Hal ini menunjukkan bahwa memuliakan tamu (ikrâm al-dlaif) memiliki hubungan langsung dengan iman. Dalam kisah di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menerapkan konsep “ikrâm” (memuliakan) dengan cara luar biasa. Padahal, ia adalah pemimpin umat Islam saat itu, dan Raja’ bin Haiwah adalah sekertarisnya (kâtib) dan penasihatnya. Meski demikian, ia menekankan bahwa, siapa pun ia, baik berdiri maupun duduk, ia tetap Umar bin Abdul Aziz, yang dalam hal ini berperan sebagai tuan rumah, sehingga etika yang ditampilkan adalah etika tuan rumah kepada tamunya, bukan pemimpin kepada bawahannya. Raja’ bin Hawiyah (w. 69/70 H) sendiri sudah menjadi pejabat di Daulah Umayyah sejak Khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai Umar bin Abdul Aziz. Artinya, ia telah mengabdi pada empat khalifah dari Daulah Umayyah. Ia adalah seorang faqîh (ahli fiqih), zâhid (orang yang zuhud), tab’in, dan banyak meriwayatkan hadits. Ia mengambil hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Mu’adz bin Jabal, Mahmud bin al-Rabi’, Abu Darda’, Abu Umamah al-Bahili, Abu Sa’id al-Khudri, Ummu Darda’, Umar bin Abdul Aziz, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang mengambil riwayat hadits darinya, seperti al-Zuhri, Qutadah bin Du’amah, Abdullah bin ‘Aun, Abdul Malik bin ‘Umair, Humaid al-Thawil, Abdul Karim bin al-Harits, dan lain sebagainya (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 18, h. 96-98). 

Jika merujuk pada catatan Imam Ibnu ‘Asakir di atas, Raja’ bin Hawiyah termasuk murid Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, karena ia mengambil riwayat hadits darinya. Artinya, apa yang dilakukan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz benar-benar sebuah adab tanpa penghalang. Baginya, konsep memuliakan tamu harus diterapkan kepada siapapun juga, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak peduli tamunya orang biasa, pejabat tinggi, bawahan, murid, atau saudaranya sendiri, ia memperlakukan mereka dengan penghormatan yang semestinya. 

Di sisi lain, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sedang mengajarkan keteladanan pada Raja’ bin Hawiyah, sebagai pemimpin sekaligus guru. Menariknya, ia mengamalkannya terlebih dahulu sebelum menjelaskannya, bukan sebaliknya. Setelah ia selesai memperbaiki lampu, ia berujar dengan tegas (terjemah bebas): “Berdiri ataupun duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz.”  Maksudnya adalah, sebelum predikat apa pun yang menempel kepadanya, atasan dan guru, ia ingin menegaskan bahwa ia adalah seorang manusia yang tetap terikat dengan aturan dan ajaran agama. Ia tidak mendapatkan keistimewaan hanya karena ia atasan atau guru dari Raja’ bin Hawiyah. Kemudian ia menjelaskan tindakannya dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Katanya: “Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya).” Dengan mengatakan ini, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz memberikan pemahaman yang indah, bahwa tidaklah pantas bagi tuan rumah membiarkan tamunya melayaninya. Dalam hal “istihdzâm dlaif”, ada dua sudut pandang yang perlu dipahami, yaitu sudut pandang pasif dan sudut pandang aktif. Penjelasannya begini. Maksud dari sudut pandang pasif adalah pembiaran, di mana tuan rumah membiarkan tamu melayaninya tanpa upaya mencegah atau melarangnya. 

Dalam contoh di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz bergegas melarang Raja’ bin Hawiyah untuk melakukan hal tersebut. Sedangkan sudut pandang aktif adalah meminta secara langsung pada tamunya untuk melayaninya. Bahasa kasarnya menjadikan tamunya pelayan. 

Dalam contoh di atas, meskipun dari strata jabatan dan hubungan guru-murid memungkinkan, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz tidak melakukannya. Artinya, meskipun ia mempunyai kesempatan dan peluang untuk itu, ia tidak menggunakannya. Jangankan menggunakannya, melakukan pembiaran saja ia enggan. Karena, katanya: “Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya).

” Wallahu a’lam bish-shawwab.... 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/126044/cara-sayyidina-umar-bin-abdul-aziz-memuliakan-tamunya?_ga=2.214008786.412912944.1611979406-926612019.1567740859
Share:

Hikmah 2 : Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya Seorang Khawarij

 Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya Seorang Khawarij 

( Oleh : Muhammad Afiq Zahara ), Rabu 30 Desember 2020 19:00 WIB 

Menurut Imam Hasan al-Bahsri, apa yang dilakukan orang-orang Khawarij (memerangi penguasa) bukan karena urusan akhirat (agama), melainkan urusan dunia. 

Dalam kitab al-Bashrâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat sebuah riwayat tentang seorang Khawarij yang mendatangi Imam Hasan al-Basri. 

Berikut riwayatnya: 

 أتي رجل من الخوارج الحسن البصري فقال له: ما تقول في الخوارج؟ قال: هم أصحاب الدنيا. قال: ومن أين قلتَ، وأحدهم يمشي في الرُمح حتي ينكسر فيه ويخرج من أهله وولده؟ قال الحسن: حدِّثْنِي عن السلطان أيمنعك من إقامة الصلاة وإيتاء الزكاة والحج والعمرة؟ قال: لا. قال: فأراه إنما منعك الدنيا فقاتلتَه عليها 

Seseorang dari (kelompok) Khawarij mendatangi Hasan al-Bashri, ia bertanya kepadanya: “Apa pendapatmu tentang Khawarij؟” (Imam) Hasan al-Bashri menjawab: “Mereka adalah ahli dunia.” Orang Khawarij itu berkata: “Dari mana pendapatmu itu, padahal salah satu dari mereka berjalan dalam kemiskinan hingga tak memiliki apa-apa, dan keluar (meninggalkan) keluarga dan anaknya?

(Imam) Hasan berkata: “Ceritakanlah kepadaku tentang penguasa (atau pemerintah), apakah ia melarangmu mendirikan shalat, menunaikan zakat, (melaksanakan) haji dan umrah?” Khawarij itu menjawab: “Tidak.” (Imam) Hasan berkata: “Maka dari itu, aku berpendapat bahwa dunialah yang sebenarnya melarangmu, (bukan penguasa), karena itu kau memeranginya karena dunia.” (Imam Abu Hayan al-Tauhidi, al-Bashrâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz 1, h. 156) 

Khawarij adalah kelompok sempalan di masa awal Islam. Tepatnya di era kepemimpinan Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Mereka disebut Khawarij karena keluar atau tidak lagi mengakui kepemimpin Ali bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkannya karena kebijakannya di saat “tahkîm” dianggap tidak sesuai dengan hukum Allah. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari mengatakan :

 وإكفاره بالتحكيم، وحرجوا عليه، فسُمُّوا خوارج، لأنهم خرجوا علي علي بن أبي طالب 

“Dan mengkafirkan Ali (bin Abi Thalib) sebab “tahkim”. Mereka keluar dari (barisan) ‘Ali (bin Abi Thalib). Karena itu, mereka disebut “Khawarij”, karena mereka keluar (dari barisan) ‘Ali bin Abi Thalib.” (Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, h. 11).

Dalam riwayat di atas, Imam Hasan al-Bashri memandang Khawarij sebagai ahli dunia. Dengan alasan bahwa pemerintah atau penguasa tidak melarang mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji dan umrah. Artinya, penguasa tidak sedang melawan Islam, karena mereka tidak melarang pelaksanaan ibadah umat Islam. Jika demikian, menurut Imam Hasan al-Bahsri, apa yang dilakukan orang-orang Khawarij (memerangi penguasa) bukan karena urusan akhirat (agama), melainkan urusan dunia. Alasan yang dikemukakan Imam Hasan al-Bashri, sebenarnya bukan hal baru, atau selaras dengan penjelasan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika Sayyidina Ali sedang berkhutbah, seseorang dari samping masjid berkata: “lâ hukma illallah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), dan beberapa orang lainnya pun turut melakukan hal yang sama. 

Kemudian Sayyidina Ali berkata:

 الله أكبر، كلمة حقّ يُلتمس بها باطل! أما إن لكم عندنا ثلاثا ما صحبتمونا: لا نمنعكم مساجد الله أن تذكروا فيما اسمه، ولا نمنعكم الفيء ما دامت أيديكم مع أيدينا، ولا نقاتلكم حتي تبدءونا 

Terjemah bebas: “Allah Maha Besar. Kalimat yang benar (tapi) ditujukan untuk kebatilan. (Meskipun demikian), sungguh kalian memiliki tiga (hak yang harus kami jaga), (yaitu): 1) Kami tidak akan melarang kalian (beribadah di) masjid-masjid Allah agar kalian bisa (dengan leluasa) menyebut nama-Nya (berzikir) di dalamnya, 2) Kami tidak akan menghalangi kalian (mendapatkan) rampasan perang selama kalian turut (berjuang) bersama kami, dan 3) Kami tidak akan memerangi kalian hingga kalian yang terlebih dahulu (memerangi) kami.” (Imam al-Thabari, Târîkh al-Thabarî, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1967, juz 5, h. 73) 

Sayyidina Ali tetap mengakui hak-hak mereka sebagai, jika menggunakan istilah sekarang, warga negara, terlepas mereka mengakuinya atau tidak sebagai penguasa. Ia tetap mengafirmasi hak-hak mereka meskipun ia dituduh dan dikritik secara langsung. Ia tidak terbawa amarah. Kebenaran tetap harus disampaikan. Ia tidak membiarkan amarah membuatnya berlaku tidak adil atau menutupi kebenaran. Penyataan Sayyidina Ali tersebut menguatkan penjelasan yang disampaikan Imam Hasan al-Bashri. Penguasa, meskipun tidak diakui, tidak melarang orang-orang Khawarij untuk mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan umrah, bahkan diafirmasi secara terbuka di depan umum oleh Sayyidina Ali. Meskipun demikian, pada akhirnya, Sayyidina Ali wafat dibunuh oleh salah satu dari mereka, Abdurrahman bin Muljam. Karena itu, menurut Imam Hasan al-Bashri, perlawanan yang dilakukan kaum Khawarij sangat bersifat duniawi. Apalagi jika melihat kasus pembunuhan Sayyidina Ali, yang ketika itu sedang melakukan shalat subuh, atau, di riwayat lain, sedang berada di perjalanan menuju Masjid Kufah sembari menyeru: “ayyuhânnâs, ash-shalâh, ash-shalâh” (wahai manusia, shalat! shalat!). (Imam Ibnu Hibban, al-Sîrah al-Nabawiyyah wa Ahbâr al-Khulafâ’, Iskandariah: Dar Ibnu Khaldun, tt, h. 324). 

Tapi, hati dan pikiran Abdurrahman bin Muljam sudah tidak bisa lagi tercerahkan. Ia dengan brutal menebas Sayyidina Ali dengan pedangnya yang berbisa. Peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan, dan keesokan harinya, di hari Jumat, Sayyidina Ali meninggal dunia. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in. Wallahu a’lam bish-shawwab...   

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/125666/ketika-imam-hasan-al-bashri-ditanya-seorang-khawarij?_ga=2.113337154.412912944.1611979406-926612019.1567740859
Share:

PWNU Jateng Minta Harlah Tahun ini Agendakan Doa Keselamatan Bangsa

 


Semarang, NU Online Jateng

Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh menyeru kepada pimpinan NU di semua tingkatan agar mengagendakan pembacaan doa-doa khusus untuk keselamatan nahdliyin, bangsa, dan negara saat memperingati hari lahir (harlah) NU dalam waktu dekat ini.

 

"Kepada pengurus NU di tingkat cabang, MWC, ranting, dan anak ranting kami harapkan agar dalam memperingati harlah NU tahun ini mangagendakan pembacaan doa-doa khusus untuk keselamatan warga NU, bangsa, dan negara di tengah munculnya berbagai problem ini," kata kiai Ubaid kepada NU Online Jateng di Semarang, Rabu (27/1).

 

Disampaikan, ada dua momentum peringatan Harlah NU yakni momentum berdasarkan kalender masehi yang jatuh setiap tanggal 31 Januari dan kalender hijriah jatuh tanggal 16 Rajab. Namun berdasarkan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama telah ditetapkan lahirnya NU berdasarkan kalender hijriah.

 

"Kami mempersilahkan pengurus NU menggelar kegiatan berdasarkan kalender masehi atau hijriah. PWNU sendiri akan menggunakan momentum peringatan Harlah NU berdasarkan kalender hijriah yakni Harlah ke-98 NU yang jatuh 16 Rajab 1442 H atau pada tanggal 27 Pebruari 2021 mendatang," jelasnya.

 

PWNU Jateng lanjutnya, dalam memperingati harlah NU tahun ini mengagendakan kegiatan haul muasis, masyayikh, dan warga NU yang sudah meninggal dunia pada hari Ahad 9 Rajab 1442 atau sepekan lebih awal dari tanggal kelahiran NU, 16 Rajab.

 

Dia menambahkan, terkait materi atau teks doa yang akan dibaca dalam rangkaian kegiatan harlah, dipersilahkan nahdliyin mengikuti bimbingan para kiai atau jajaran syuriyah di daerahnya masing-masing.

 

"Para kiai pasti sudah memiliki doa dan wirid-wirid yang akan dibaca bersama jamaahnya untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi berbagai macam problem seperti sekarang ini," terangnya.

 

Dijelaskan kepada nahdliyin, penyelenggaraan kegiatan dalam rangka memperingati harlah ke-98 NU diharapkan menyesuaikan kondisi saat ini. Tegasnya, suasana hingar bingar supaya dihindari.

 

Ketua PWNU Jateng Muhammad Muzamil mengatakan warga NU Jateng diharapkan memanfaatkan momentum harlah ini untuk  muhasabah, dari evaluasi diri ini akan diketahui berbagai kekurangan yang ada selama ini.

 

"Hasil muhasabah ini selanjutnya dapat dijadikan bahan untuk memperbaiki diri sehingga berbagai kekeliruan dapat diperbaiki selama dalam perjalanan perkhidmatan kepada NU pada masa berikutnya," pungkasnya. 

 

Penulis: Samsul Huda
Editor: M Ngisom Al-Barony

(@456Hdn)

Share:

HIKMAH 1 : Nasihat Ibu Sufyan ats-Tsauri kepada Anaknya tentang Menuntut Ilmu.


Nasihat Ibu Sufyan ats-Tsauri kepada Anaknya tentang Menuntut Ilmu.

Menurut Sufyan ats-Tsauri, ilmu itu beriringan dengan dua hal: mencari dan mengamalkan. 

Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat dari Imam Waki’ tentang nasihat ibu Sufyan ats-Tsauri kepada anaknya. Berikut riwayatnya: 

 قال وكيع: قالت أم سفيان الثوري لسفيان: يا بني اطلب العلم وأنا أكفيك بمغزلي، وقالت له: يا بني إذا كتبت عشرة أحرف فانظر هل ترى نفسك زيادة في مشيك وحلمك ووقارك فإن لم يزدك فاعلم أنه لا يضرك ولا ينفعك. 

(Imam) Waki’ berkata: “Ibu Sufyan ats-Tsauri berkata pada Sufyan: “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupi (bekal)mu dengan (upah) memintal benang.” Ia berkata (lagi) kepada Sufyan ats-Tsauri: “Wahai anakku, jika kau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah (ke dalam dirimu), apakah (setelah menulis sepuluh huruf itu) kau melihat (ada) peningkatan dalam langkahmu (menuntut ilmu), dalam kemurahan hatimu, dan dalam martabatmu. Jika (setelah kau lihat) tidak ada peningkatan, maka ketahuilah, sesungguhnya ilmu (yang telah kau pelajari) tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat.” 

(Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 110) 

Seorang ibu memang luar biasa. Berbahagia dengan kebahagiaan anaknya. Bersedih dengan kesedihan anaknya. Salah satu ibu luar biasa dalam sejarah peradaban Islam adalah ibu dari Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Dukungan dan semangatnya berhasil mendidik Sufyan ats-Tsauri menjadi ulama yang multidisipliner. Tidak hanya terkenal karena kealimannya, tapi juga karena kehalusan pekertinya, kezuhudan perilakunya dan kemuliaan akhlaknya. Dalam kitab Shifat al-Shafwah tidak disebutkan nama lengkapnya, hanya disebut Ummu Sufyân ats-Tsauri rahimahâllah. Berikut sedikit uraian tentang nasihatnya.  

Ada sebuah pernyataan Imam Sufyan ats-Tsauri yang cukup menarik tentang ilmu. Bisa jadi dipengaruhi nasihat ibunya dulu. Katanya : 

 حياة العلم بالسؤال عنه والعمل به، وموته بتركهما 

 “Eksistensi ilmu itu disebabkan oleh (proses) bertanya tentangnya (mengkaji/menuntutnya) dan beramal dengannya. (Sedangkan) kematiannya disebabkan oleh meninggalkan keduanya” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018, h. 28). 

Menurut Imam Sufyan ats-Tsauri, eksistensi ilmu itu berdasarkan pada dua hal, “as-suâl ‘anhu” (pertanyaan, penelitian, dan pencarian), dan “al-‘amal bihi” (pengaplikasian). Dengan pertanyaan, penelitian dan pencarian, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan tumbuh menjadi beragam disiplin ilmu. Namun, hal itu saja tidak cukup, harus juga dibarengi dengan pengaplikasiannya (al-‘amal bihi, beramal dengannya). Pada hakikatnya, seorang penuntut ilmu, khususnya ilmu agama, tujuannya bukan hanya untuk memintarkan diri, tapi juga mengamalkannya. Misalnya ada hadits yang berbicara tentang memuliakan tamu, menyayangi sesama manusia, atau berkata yang baik. Mengetahuinya saja tidak cukup, harus juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkannya, kita sebenarnya sedang melestarikan pengetahuan agama. Karena itu, dalam nasihatnya, ibu Imam Sufyan ats-Tsauri meminta anaknya untuk selalu melihat ke dalam diri, di setiap sepuluh huruf yang ia tulis. Ini menarik, karena standar yang dipakai bukan khatam satu kitab, tapi menulis sepuluh huruf. Dari standar ini, kita bisa dapati dua hal penting. Pertama, kecepatan dalam bermuhasabah, dan kedua, istiqamah dalam bermuhasabah.  

Muhasabah atau inspeksi diri yang dilakukan secara cepat sangat dibutuhkan untuk mengeliminasi peluang kesombongan. Setelah menjadi kebiasaan (istiqamah), manusia akan selalu diingatkan tentang tujuan utama belajar. Tidak melulu soal kepintaran dan kehormatan, tapi juga soal kerendahan hati, kemurahan jiwa dan martabat diri. Artinya, sang ibu ingin Imam Sufyan ats-Tsauri untuk terus mengukur dirinya, apakah ada kemajuan dalam proses belajarnya. Ada tiga hal yang menjadi penekanannya, yaitu kemajuan dalam hal pengetahuan, kemajuan dalam hal kemurahan hati, dan kemajuan dalam hal martabat diri. Jika tidak ada kemajuan, ibunya mengatakan, “sesungguhnya ilmu (yang telah kau pelajari) tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat.” Bagi sang ibu, belajar tidak cukup dengan hanya menjadi pintar, tapi juga harus dapat mengembangkan kemurahan hati dan martabat diri. Jangan sampai ilmu pengetahuan menjadikannya sombong dan merasa paling pintar sendiri. Jika itu terjadi, ilmu pengetahuan tidak lagi berposisi netral seperti ucapan sang ibu, tapi bisa memberikan bahaya. Tentu, perkataan ibu Sufyan ats-Tsauri, “tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat,” harus dipahami sebagai pendekatan spiritual dalam belajar.  Tujuannya untuk menghindarkan para pelajar dari jebakan kesombongan, dan mengingatkannya kembali pada niat awal mereka. Karena, tidak sedikit manusia yang terjebak dalam jurang kesombongan. Murid Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181 H) pernah mengatakan :

 لا يزال المرء عالما ما دام يظن أن في بلده من هو أعلم منه، فإذا ظنّ أنه أعملمهم فقد جهل 

“Seseorang masih menjadi orang ‘alim (orang berilmu) selama dia berpandangan bahwa di negerinya (ada) orang yang lebih berilmu darinya. Karena itu, ketika seseorang berpandangan bahwa dialah yang paling berilmu, maka sesungguhnya dia adalah (orang) bodoh” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarîn, h. 29). 

Ucapan Abdullah bin Mubarak di atas merupakan salah satu bentuk kemurahan hati sekaligus martabat diri. Maksudnya adalah, kemurahan hati yang ditunjukkan oleh terkendalinya kesombongan, sehingga tidak segan mengakui dirinya tidak lebih pintar dari siapa pun. Mengenai martabat diri, tentu kita tahu, bahwa martabat bukan hanya soal harga diri yang marah ketika dihina atau diinjak-injak, tapi juga soal seni mengukur kemampuan diri. Tidak ada orang yang lebih tahu tentang hal itu selain diri kita sendiri. Kita lah yang tahu bahwa kita tidak hafal hadits ini, atau tidak tahu hukum tentang itu. Mungkin kita bisa berpura-pura ‘alim, tapi hati kecil kita tidak bisa dibohongi. Orang yang tak segan membohongi dirinya sendiri, bukanlah orang yang menjaga martabat dirinya. Karena itu, orang yang mengakui kekurangannya, dan tidak memandang dirinya lebih berilmu dari orang lain, adalah orang yang menjaga martabat dirinya. Belum lagi jika kepura-puraannya ketahuan, martabatnya di hadapan orang lain akan hancur seketika. 

Sebagai penutup, nasihat Imam Ibrahim bin Adham (w. 165 H) di bawah ini perlu kita renungkan bersama :

 أطلبوا العلم للعمل فإن أكثر النّاس قد غلطوا حتي صار علمهم كالجبال وعملهم كالذر 

“Carilah ilmu untuk diamalkan. Karena kebanyakan manusia telah keliru, hingga menjadikan ilmunya (setinggi) gunung tapi amalnya (sekecil) debu.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Thabaqât al-Kubrâ, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah, al-Diniyyah, 2005, h. 129). 

Pertanyaannya, sudahkah kita mendoakan ibu kita hari ini?  Wallahu a’lam bish-shawwab... Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/126288/nasihat-ibu-sufyan-ats-tsauri-kepada-anaknya-tentang-menuntut-ilmu?_ga=2.113039245.84735789.1611799122-926612019.1567740859
Share:

Kompilasi Kegiatan MWC NU Bumiayu

Beberapa dokumen kegiatan MWC NU Bumiayu :

1. Keorganisasian : Konferensi MWC NU 2017 , Musyawarah Kerja MWC NU 2018 , Kartanu SISNU Bintek  , Launching1 
2. Keagamaan : Pengajian Mafahim, Tarhim Ramadhan ke Ranting : Tarhim 2016  Tarhim 2017  , Tarhim 2019 dan Tarhim 2019v
3. Pendidikan dan Pengkaderan : PKPNU Adisana , PKPNU Menggala , PKPNU PP Darunnjat , PKPNU SMA BU NU , PKPNU KalilangkapPKPNU SMK al-Huda
4. Kepedulian Sosial : Aksi Peduli Covid 19

Beberapa kegiatan MWC NU terangkum dalam link ini 

Share:

TAUSIYAH

Share:

TERJEMAH SHOLAWAT FII HUBBI

 (Sumber; Buletin Al Fithrah [BAF])


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّـدْ # يَا رَبِّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ


Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan rahmat(Mu) kepada Muhammad # Yaa Rabb, limpahkanlah (pula) shalawat dan salam ke hadirat Beliau.


فِيْ حُبِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدْ # نُـوْرٌ لِّبَدْرِ هُدًى مُّتَمَّمْ


Dengan mencintai junjungan kita (Nabi) Muhammad # menjadi sempurnalah nur cahaya hidayah yang (terangnya) laksana bulan purnama.


قَلْبِيْ يَـحِنُّ إِلَى مُحَمَّـدْ # مَا زَالَ فِـيْ وَلَـهٍ مُّتَـيَّمْ


Hatiku (selalu) merindukan Muhammad # (dan hatiku) selalu bersedih menahan kerinduan yang sangat kuat.


مَا لِيْ حَـبِـيْبٌ سِـوَى مُـحَمَّدْ   #  خَـيْرٌ الرُّسُلِ طَـهَ الْمُكَرَّمْ


Aku tak mempunyai kekasih selain Muhammad # (Beliau) adalah sebaik-baik Rasul, yaitu Thaaha yang terhormat.


شَوْقُ الْمُـحِبِّ إِلَى مُحَمَّدْ # أَضْـــنَاهُ ثُـمَّ بِـهِ تَـأَلَّـمْ


Kerinduan seorang pecinta (Muhammad) kepada Muhammad # membuat (beban di) hatinya terasa berat, sehingga ia merasakan kepedihan.


فِى الْحَشْرِ شَافِعُـنَا مُحَمَّدْ  # مُنْجِى الْخَلاَئِقِ مِنْ جَهَنَّمْ


Di padang Mahsyar (nanti), Penolong kami yaitu Muhammad # akan menyelamatkan seluruh makhluk dari neraka jahannam.


مِيْـلاَدُ سَيِّـدِنَا مُحَـمَّـدْ  # أُمُّ الْقُــرَى بَلَـدٌ مُّعَظَّـمْ


Tanah kelahiran junjungan kita Muhammad # terletak di ibukota sebuah negara yang agung (Makkah).


مَـدْفـَانُ سَيِّـدِنَا مُحَـمَّـدْ  #  طَيْبُ الْقُرَى بَلَدٌ مُّفَخَّمْ


Tempat disemayamkannya junjungan kita Muhammad # terletak di kota yang harum  semerbak dari sebuah negara yang mulia (Madinah).


أَحْيَا الدُّجَى زَمَنًا مُّحَمَّدْ  # حَتَّى اشْتَكَتْ قَدَمٌ مُّوَرَّمْ


Muhammad selalu menghidupkan waktu-waktu malamnya (dengan beribadah kepada Allah) # sehingga kaki Beliau merasa kesakitan dan (kemudian) membengkak[1].


لمَـَّا عَــلاَ وَدَنَا مُحَـمَّدْ  #  مَـوْلاَهُ سَـلَّـمَهُ وَكَــلَّـمْ


Ketika Muhammad melakukan mi’raj/naik ke atas (sidratul muntaha) dan mendekat # Tuhannya ‘mengucapkan’ salam serta ‘berbicara’ (kepadanya)[2].


نَدْعُـوْكَ أَحْمَدُ يَامُحَمَّدْ  #  يَا سَـيِّدَ الرُّسُـلِ الْـمُقَدَّمْ


Kami memohon kepadamu wahai Ahmad, wahai Muhammad, # wahai Penghulu para Rasul terdahulu.


إِشْفَعْ اِلَى اللهِ يَـا مُحَـمَّدْ   #  يَـوْمَ الْقِـيَامَـةِ لَنَا نُـنَعَّمْ


Syafa’atilah kami karena Allah, wahai Muhammad # di hari kiamat nanti, sehingga kami bisa memperoleh kenikmatan (surga)[3].


نَرْجُو الشَّـفَاعَةَ مِنْ مُحَمَّدْ  #    لَوْكُنَّا نَرْتَكِبُ  الْـمُحَرَّمْ


Kami mengharap syafa’at dari Muhammad # apabila kami (pernah) melakukan perbuatan yang diharamkan.


مَنْـجَا وَمَلْجَـأُنَا مُـحَمَّدْ  # يَـوْمَ الْهَوَانِ بِهِ تَـحَشَّمْ


Tempat kami mencari keselamatan dan tempat kami berlindung (di hari kiamat nanti) hanyalah pada Muhammad # yaitu, hari yang semua makhluk merasakan malu kepadanya.


وَالنُّـوْرُ جَاءَ بِـهِ مُـحَمَّدْ  # وَالْـحَقُّ بُـيِّنَ إِنْ تَكَلَّمْ


Muhammad datang dengan membawa nur (agama Islam) # Dan ketika Beliau berbicara, menjadi jelaslah perkara yang haq.


“أَعْلَى السَّمَاءِ سَمَا مُحَمَّدْ #  جِبْرِيْلُ قَـالَ لَـهُ: “تَقَـدَّمْ


Langit tertinggi/Sidratul Muntaha (pernah) dinaiki oleh Muhammad (ketika Isra’ Mi’raj) # (pada kesempatan itu) Jibril pun berkata kepada Beliau: “silahkan Anda berangkat (menghadap Allah) sendirian”[4].


وُالْجُـنْدُ حِيْنَ غَزَا مُحَمَّدْ # مِنْهُمْ مَـلاَئِـكَةٌ تُسَـوَّمْ


Bala tentara Muhammad ketika Beliau berperang # di antaranya adalah Malaikat yang dikirim (oleh Allah)[5].


وَالـدِّيْنُ أَظْـهَـرَهُ مُحَمَّدْ  # وَالْكُـفْرُ أَبْـطَلَهُ فَهَـدَّمْ


Agama Islam ditampakkan (secara jelas) oleh Muhammad # sedangkan kekufuran disia-siakan oleh Beliau, untuk kemudian dihancurkan.


أَعْـــمَارُ سَـيِّدِنَا مُـحَمَّدْ  #  سِتُّوْنَ جِيْمٍ مِّنْ مُعَـوَّمْ


Umur dari junjungan kita Muhammad # adalah 63 tahun[6].


صَلَّى اْلإِلَهُ عَلَى مُحَمَّدْ  #   وَاْلأَلِ كُلِّـهِمِ وَسَـلَّــمْ


Semoga Tuhan selalu melimpahkan shalawat dan salam kepada Muhammad # juga kepada seluruh keluarga Beliau. kepada seluruh Sahabat-Sahabat Beliau.


صَلَّى اْلإِلَهُ عَلَى مُحَمَّدْ #    وَالصَّحْبِ كُلِّهِمِ وَسَلَّمْ


Semoga Tuhan selalu melimpahkan shalawat dan salam kepada Muhammad # juga kepada seluruh Sahabat-Sahabat Beliau.

Share:

KATALOG DIGITAL KITAB KUNING

Bagi yang ingin menambah koleksi kitab, buku dan referensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama mempersembahkan KMNU E-Library yang bebas diakses oleh siapapun:


Aswaja

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCNmZ4d08ybHgyd1U


E-Book NU

Kitab-Kitab Nusantara

1. Adabunnikah, Uqudullijaian

2. Ushul Fiqh

Kitab-Kitab Fikih 

Kitab-Kitab Tafsir

Kitab-Kitab Hadits

Kitab-Kitab Nahwu Shorof

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCZlRBN3VpeFg2YWc


Kitab-Kitab Tarikh

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCcjJ6ejdsQ3pYRXM


Kitab-Kitab Maulid ar-Rasul

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCTmpjZEpFYUxmWFE


Kitab-Kitab Tashowwuf

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCdzQyMm5iVWNRdVk


Kitab-Kitab Tauhid

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCdERKYW9nUk9HWlE


Nadzoman

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCSllfY1NNeGtfWlE


Kitab-Kitab Karya Imam Ghozali

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCQURIUzY3WDdlcEE


Kitab-Kitab Karya Abuya Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki

https://drive.google.com/drive/u/2/mobile/folders/0B49krkb9SjaCbUNqd3hJdHNRUjQ




Mohon bantuannya membagikan pesan ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi diri kita dan orang-orang yang membutuhkan nya  selamat mutalaah / membaca semoga jadi pahala ..

Share:

MWC NU BUMIAYU

Majlis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes terus menerus berusaha melakukan kreasi dan inovasi dalam rangka untuk memajukan NU di wilayah kecamatan Bumiayu. Sebagai organisasi keagamaan, sosial kemasyarakatan tentu saja // Kegiatan MWC NU Bumiayu // atau Kompilasi Kegiatan MWC NU yang diselenggarakan juga meliputi kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan seperti pengajian, bakti sosial, kebangsaan, penggalian sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia dan lain sebaginya. Saat ini, MWC NU Bumiayu dipimpn oleh KH Wasroh Abdul Wahid selaku Rais Syuriyah dan H. Taufiq Tohari, SH selaku Ketua Tanfidziyyah.





MWC NU Bumiayu memiliki Gedung NU sendiri yang menjadi pusat kegiatan NU dan Badan Otonom, berlokasi di Jalan Pasar Hewan Bumiayu. Dalam menjalankan organisasasinya, MWC NU Bumiayu memiliki 17 ranting  yaitu:
1. Ranting Adisana
2. Ranting Bumiayu
3. Ranting Dukuhturi
4. Ranting Jatisawit
5. Ranting Kalierang
7. Ranting Kalinusu 1
8. Ranting Kalinusu 2
9. Ranting Kalisumur
10. Ranting Kaliwadas
11. Ranting Langkap
12. Ranting Laren
13. Ranting Negaradaha
14. Ranting Pamijen
15. Ranting Panggarutan
16. Ranting Pruwatan 1
17. Ranting Pruwatan 2

Profil Pengurus MWC NU Bumiayu Dari Masa ke Masa  atau Pengurus MWC NU Bumiayu dari Periode Pertama samapai periode sekarang

Kolom TAUSIYAH

(@456Hdn)

Share:

Label

Pendiri NU

Pembangunan Gedung NU

SIPNU

GALERRY FOTO

LINK KARTANU

GEDUNG MWC NU

Recent Posts

Pengunjung

Flag Counter